Thursday, September 18, 2008

Jejak

Ralat!!!
Sinopsis JEJAK yang kemaren, kayaknya terlalu fullgar… Hehe… Judul dwilogi keduanya JEJAK, mba rina… Aku jadi pengen kasih bocorannya juga ^_^ (Is that okay, Thee?)… Kemungkinan baru selesai akhir tahun depan atau awal tahun 2010… Tapi aku berharap mudah-mudahan bisa cepet rampung… (Amin)



Langkahnya sudah sampai di Place Vendóme. Namun jejak dari sepasang kaki gemulai itu, tidak berhenti sampai di situ. Dia melangkah ke arah timur menuju Rue des Petits Champs, terus ke Rue Richelieu, melewati Palais Royal. Hingga sampai ke bangunan dalam list ‘Keajaiban Paris’. Museum Louvre.



Namun dia tidak ingin mengunjungi museum itu. Dia hanya ingin menenangkan dirinya di taman Paris yang sangat terkenal Jardin des Tuileries, tak jauh dari situ. Langkahnya terus berderap melewati gerbang Arc de Triomphe. Melewati barisan pohon-pohon hingga tiba di bangku-bangku yang mengelilingi sebuah kolam berbentuk bulat besar.




JEJAK


Novel kedua dari rangkaian dwilogi thriller fiction Thee dan Rien.

Di hadapan Olivia saat ini adalah seorang gadis yang terbaring tak berdaya di atas ranjang salah satu rumah sakit di kota Paris. Gadis itu adalah Louise Paul Dubois, anak semata wayang Jean Paul Dubois, anak dari mantan pimpinannya yang dibunuhnya dengan tangannya sendiri.Menurut dokter yang merawatnya, Louise sudah melewati masa kritis, bahkan gadis itu sudah beberapa kali menunjukkan respon positif ke arah kesadaran. Olivia semakin mendekatkan jaraknya ke hadapan Louise, menatap wajah gadis itu dari dekat, sesaat dia merasa sedikit sesak merasuki dadanya secara tiba-tiba ketika raut wajah Louise terlihat semakin jelas di matanya.


JEJAK, merupakan kelanjutan dari novel pertama SILUET. Mengisahkan tentang seorang pembunuh berdarah dingin serta seorang dokter gila yang sangat ambisius dan terobsesi untuk menciptakan manusia.

Masih sangat pagi sekali tapi orang-orang sudah berkerumun di sekitar Ye Oldee Inne, ingin mencari tahu atas apa yang terjadi semalam. Keributan apa yang sudah menyebabkan banyak orang luka parah di penginapan desa itu, bahkan polisi menemukan sepuluh mayat remaja dalam kondisi yang berlainan.

Satu mati di depan pintu penginapan dengan tengkorak kepala yang berlubang dan darah mengenang di sekitar tubuhnya, satu ditemukan di dapur dalam kondisi leher terpotong dengan pisau yang hanya terdapat sidik jari korban dan kepala matang di atas kompor yang terus menyala sampai polisi datang.

Dua ditemukan tergantung di halaman belakang dalam kondisi leher berubah arah 180° ke belakang, mata mereka sudah dicongkel dengan kunci penginapan yang tergeletak jauh di bawah kaki mereka, lagi-lagi tidak ditemukan sidik jari.

Tiga ditemukan mati di ruangan bawah tanah dalam keadaan tubuh tercabik oleh sabit, ruang bawah tanah menjadi tempat pembantaian manusia, digenangi oleh darah kental. Bahkan polisi-polisi lokal itu sama sekali tidak bisa menahan rasa mual mereka dan langsung muntah di tempat begitu melihat kondisi korban.

Satu ditemukan mati di halaman belakang penginapan, cukup jauh dari penginapan tampaknya pemuda kecil ini sedang berusaha untuk melarikan diri. Dia membawa sebuah pemukul baseball yang tampaknya malah menjadi senjata pembunuhnya sendiri, kepalanya sudah hancur tidak berbentuk dengan tulang rusuk yang remuk. Satu-satunya yang bisa membuatnya dikenali adalah; tongkat pemukul baseball­-nya. Yang lagi-lagi tidak ditemukan sedikitpun sidik jari kecuali milik korban.

Dua lagi ditemukan mati mengapung di danau yang berjarak 200 meter dari penginapan, tampaknya mereka sudah jauh berlari ketika teman mereka ini habis dihajar dengan tongkat pemukul baseball. Sayang langkah kaki mereka kurang panjang untuk melarikan diri dan terpaksa harus menerima puntiran yang menyebabkan leher mereka patah lalu di lemparkan ke danau.

Dari pembunuhan yang terakhir, seorang detektif lokal membuat suatu kesimpulan kalau si pembunuh melakukannya dengan sengaja. Pembunuhan yang pertama dilakukan di depan pintu masuk penginapan adalah suatu percobaan, korban di tusuk dengan obeng yang juga hanya terdapat sidik jari korban, obeng yang ditemukan tergeletak jauh sekitar satu meter dari tubuh korban.

Pembunuhan yang kedua dilakukan secara hati-hati, perlahan-lahan agar si korban merasakan sakitnya. Kemungkinan saat itu pembunuhnya merasa kesal dengan perbuatan korban.

Pembunuhan yang ketiga dilakukan setelah si pembunuh berhasil menangkap kedua korbannya, memelintir leher keduanya, mencongkel kedua matanya dan kemudian menggantungnya di pohon belakang penginapan.

**

Sementara itu, di waktu yang sama dan masih di negara bagian New York, Amerika Serikat. Berpuluh mil dari Coney Island, tepatnya di kawasan Urban di daerah South Sea Port. Sebuah kawasan kumuh di jantung kota New York. Terdapat sebuah tempat yang tidak sama kondisinya dengan tempat tinggal di daerah ini.
Begitupun dengan letaknya. Tidak seperti rumah-rumah penduduk yang berdiri di atas permukaan tanah, tempat berisi peralatan yang tidak kalah canggihnya dengan peralatan yang dimiliki markas CIA ini berada di bawah tanah. Tepatnya di bawah tanah rumah kedua dari bagian kiri jalan di kawasan Urban Renewal of South Seaport ini.
Hanya ada satu orang yang menghuni tempat ini. Seorang pria berbadan bulat pendek, dengan wajah bundar berpigmen putih kemerahan dan menyukai saripati anggur bebas gula yang buahnya ditanam di tepi sungai Mosel.
Lelaki itu sedang berkutat dengan bahan-bahan laboratoriumnya. Meracik campuran cairan-cairan dengan berbagai warna hingga membentuk sebuah kompilasi dari kelima cairan yang dicampurkannya itu. Menginjeksikan cairan tersebut ke dalam sebuah tabung besar yang berada di tengah ruangan dari laboratorium yang tidak seberapa besar ini.
Tabung itu berisi air dan di dalamnya terdapat sesosok tubuh manusia. Wujud manusia itu berupa seorang perempuan cantik dengan wajah aristokrat eksotik bagaikan wajah perempuan keturunan darah Eropa dan Asia. LCD kecil berisi huruf-huruf digital di bagian kanan dinding tabung tersebut bertuliskan nama seseorang yang berada di dalam tabung ini.


Randy Sebastian, adalah seorang mahasiswa berkewarganegaraan Indonesia yang mendapat beasiswa dari kedutaan besar Perancis untuk mengambil master jurusan Hukum di Paris. Randy Sebastian adalah seorang pecinta buku, terutama buku-buku thriller dan detektif. Dia mendapat inspirasi untuk memecahkan kasus Yuri Silvia, setelah bertemu tanpa sengaja dengan seorang wanita di bandara Charles de Gaulle. Perasaan dan instingnya selalu menghantuinya akan wajah sang gadis yang sangat mirip dengan sketsa Yuri Silvia di halaman terakhir buku hariannya. Sketsa 'Manusia Siluet’

Secepat kilat Randy menuju stasiun metro, kembali ke flatnya di Right Bank. Sepanjang lorong stasiun metro dia menemukan berbagai macam pemusik jalanan memamerkan bakatnya. Randy berhenti sebentar di salah satu kelompok pemusik berstyle ala Renaissance, mematung di depan lima orang pemusik maskulin yang sedang memainkan lagu orchestra kesukaannya. Mereka memainkan salah satu lagu orchestra yang pernah dipopulerkan oleh komposer Paul Mariat, komposer Perancis favorit Randy. Lagu itu berjudul Love is Blue, melodinya begitu menyayat hati siapapun orang yang sedang mendengarnya.

Sesekali Randy menyenandungkan lirik lagu itu, “Blue blue my world is blue, blue is my world now I’m without you. Gray, gray my life is gray, cold is my heart since you went away...”

“Doux, doux, l'amour est doux. Douce, est ma vie, ma vie dans tes bras. Doux, doux, l'amour est doux. Douce est ma vie, ma vie pres de toi”

Randy menoleh ke belakangnya, suara berat itu tiba-tiba datang kala ia sedang asyik menyanyikan lagu ‘Love is Blue’ yang sedang dimainkan secara instrumental oleh band di depannya ini.

Seorang pria tinggi berjaket kulit dan bersyal tebal, memakai topi wol untuk menutupi kepalanya, serta mengenakan kacamata hitam. Dia tidak tahu bahwa suaranya menarik perhatian Randy, suara bariton yang tiba-tiba datang dan begitu fasih menyanyikan ‘Love is Blue’ dalam bahasa Perancis. Walaupun Randy tidak melihat warna rambut dari pria tinggi itu, namun dia bisa memperkirakan bahwa pria ini adalah pria asia. Dia bisa melihat dari kulit wajahnya yang sawo matang, khas orang asia tenggara yang tinggal di daerah bercuaca tropis.

“Great job” Randy berkata pada pria itu, ada suatu hal yang menarik dirinya untuk mengenal pria itu. Walaupun Randy tidak tahu hal apa itu.

Pria itu memandang Randy, kemudian membuka kacamata hitamnya.
I’m right. You’re an asian” kata Randy, menyunggingkan senyumnya.
Senyum pria itu semakin lebar padanya, kemudian tanpa diduga Randy, pria itu menyodorkan tangannya, “Aldi” ujarnya, kala Randy menyambut tangannya.
“Aldi? Seems you’re an indonesian man?” tanya Randy.
“Yes, I’m an indonesian” sahutnya, lebih keras. Kini senyumnya bertambah lebar.
“Saya juga” sahut Randy, dia tertawa.
“Wow. Kebetulan sekali” sahut Aldi. “Kuliah?”
Randy mengangguk, “Kamu juga?” tanyanya pada Aldi.
Aldi menggeleng, wajahnya masih tersenyum, “Work”
“Dimana?”
“Cafe. Nggak jauh dari sini, Rue Montessuy” kata Aldi.

**

Satu, dua,.....
“Yak!!” teriak Olivia.
Tali yang dilemparkannya sudah terkait di dalam helikopter.
Olivia memegang tali itu sekuat tenaga, mengambil senapan Kalibernya. Menaiki tali itu, meninggalkan mobilnya yang masih berjalan dalam kecepatan tinggi.

Mobil Olivia kehilangan kendali. Jalannya semakin miring tanpa ada kontrol dibalik kemudi. Tak dapat dihindari mobil itu menabrak dinding pembatas Seine. Melayang di atas sungai itu. Bergerak pelan, seolah hendak menggapai jembatan pejalan kaki Pont des Arts yang berada di tengah-tengah sungai itu. Pada akhirnya, mobil naas itu jatuh tenggelam ke dalam Seine. Menuju dasar sungai berwarna biru cerah itu.

SUV Silver yang dikemudikan Helmut menyusul Olivia. Ketiga orang di dalamnya turun dari mobil itu dan membantu Olivia untuk naik ke dalam helikopter. GZ-1 yang cerdas, menembak sang pilot dengan senjata berisi peluru bius.

Peluru itu mengenai dada sang pilot. Helikopter semakin tak terkendali karena pilotnya sudah jatuh. Olivia bergegas naik untuk cepat sampai di dalamnya. Jika tidak, pesawat itu akan jatuh.

Lima menit setelahnya, Olivia, Isabel, Helmut, GZ-1, dan Louise yang masih tidak sadarkan diri sudah berada di dalam helikopter. Olivia menerbangkannya menuju Rusia. Menuju Moskow.

Bawah tanah Arbat Street.

Tempat markas kloning itu berada.


(Still ON-GOING)

3 comments:

Dunia Fiksi said...

Selamat untuk Tyas dan Rien atas terbitnya novel yang kedua.
Semoga sukses seperti novel Hujan, yang menurut Pak Herman mau cetak ulang.
Saya ikut bangga lho, ternyata novel teman saya bisa mencapai best seller.
Terus berkarya dan jangan pernah berhenti berkreasi.
Hidup harus terisi oleh kreatifitas
agar supaya berarti.

Salam damai

Hans

Dunia Fiksi said...

Makasih pak Han, terbitnya masih belum tahu apa desember atau awal tahun depan niy. Hehe. Amiin, pak. Bapak juga smoga sukses ya yang 'Hantu Pancoran'nya itu. Saya juga begitu, kita sukses sama-sama ya ^_^. Betul sekali, kreasi itu bikin 'hidup terasa lebih hidup'. Hehe.. kayak tag-line iklan aja...

rina said...

Wow Rini dan Tyas, membaca sinopsis dan cuplikan novel ini, menarik, orisinil, dan tegang.
Keep up the good work ya. Semoga cepet jadi, dan cepet jadi buku juga. Aku tunggu nih...

Thanks udah dikasih bocorannya.
Semoga laris manis lagi, dan congrats juga buat hujannya yang cetak ulang ya...