Nama penulis : Poppy D.Chusfani
Jenis : TeenLit – Roman Fantasi
Penerbit : PT.Gramedia Pustaka Utama
Diterbitkan : September 2008
Setelah membaca berbagai judul roman remaja mulai dari terbitan GPU, GagasMedia, Grasindo, Pustaka Hijau, Terrant Books, dll—saya melihat ada perkembangan dimana novel roman remaja tak lagi hanya berkutat soal cinta melulu. Biarpun unsur roman masih jadi sajian utama, namun di beberapa novel mulai bergeser kearah lain, yaitu fantasi dan science fiction. Kebetulan banget sudah sejak lama saya juga berkeinginan membuat jenis cerita dengan thema yang sama.
Ada beberapa judul teenlit yang beraroma demikian, misalnya Lost in Teleporter (Tria Barmawi), D’Angel ( Luna Turasingu), The Legend of Madriva (Sitta Karina), Indigo Girl (terbitan Terrant Books, penulisnya lupa), Uttuki ( Clra Ng), dan yang akan saya bahas di sini adalah Mirror, Mirror On the Wall karya Poppy D.Chusfani.
Membaca karya ibu muda beranak satu yang mengaku sebagai Tolkien freak ini, seolah saya sedang menikmati film bikinan Hollywood. Plot-nya adalah: tokoh utamanya cewek yang gak gitu cantik, gak pinter, gak gaul, dan pastinya nggak pede. Muncullah pertolongan dari makhluk gaib (biasanya peri atau jin). Dia mulai berubah. Bisa memperoleh ketenaran, pinter, gaul, bisa merebut cowok impian; tapi akhirnya hancur berantakan karena makhluk gaib itu merongrongnya.
Begitulah memang sifat setan, manis di muka ternyata mematikan di akhirannya. Karin yang mempunyai kakak perempuan yang sempurna dan ayah kaya yang sibuk, selalu merasa underdog, gak pernah dianggep oleh siapapun juga. Tak sengaja dia nemu sebuah cermin antik di gudang rumahnya. Cermin itu berisi semacam jin peninggalan nenek moyangnya yang masih keturunan raja Banten.
Ketiga jin yang berujud nenek buyutnya itu membuat Karin jadi top. Dia bisa jadi penyanyi solo di paduan suara sekolah, bisa mendapatkan cowok idaman para cewek sekolahnya bernama Andree yang ganteng dan tajir abis, dipuji ayah dan kakak perempuannya yang selama ini nyuekin dia, dst dst...
Kemudian muncul dua ekor harimau jadi-jadian yang selama ini selalu mengawalnya secara diam-diam. Makhluk gaib yang muncul belakangan ini tak senang Karin sering masuk ke dalam cermin dan berada di dunia gaib, karena hal itu akan menyedot energinya dan memperlemah rohnya. Tapi Karin yang sudah merasa tergantung pada ketiga wanita penghuni cermin tak ambil perduli.
Bahkan nasehat sahabat karibnya sejak kecil bernama Shawn yang dipanggilnya sebagai bule dekil, juga tak digubrisnya. Salah satu jin wanita di dalam cermin yang bernama Nyi Rajadharma, seringkali diminta menyaru jadi dirinya untuk mewujudkan keinginan Karin. Belakangan ketahuan bahwa jin itu ternyata berniat busuk. Sayangnya sudah terlambat bagi Karin untuk menyesali keputusannya.
Dan begitulah akhirnya. Seperti tadi saya bilang, endingnya aja mirip banget dengan film bikinan Hollywood. Dua harimau jadi-jadian yang jauh dari kesan seram itu duduk di belakang mobil sambil melantunkan puisi, sementara Karin dan cowoknya (silakah tebak yang mana: Andree atau Shawn?) duduk di depan mobil dengan bahagia.
Sebagai hiburan, novel ini enak dibaca. Di sana-sini banyak joke-joke yang walau terasa sekali khas Hollywood, tapi bisa bikin kita tersenyum. Kedua harimau betina jadi-jadian yang bernama Cangra (yang serius dan suka menasehati) dan Wulung (yang cuek dan kocak) membuat suasana jadi hidup. Sayangnya penggambaran tokoh Nyi Rajadharma dan kedua saudaranya kurang digarap, jadinya tokoh antagonis ini kurang terasa menggigit.
Btw, layaklah cerita ini dijadikan hiburan di kala senggang, disaat kita lagi malas membaca novel serius macam karya Umberto Uco, John Grisham, Agatha Cristie dll.
Jenis : TeenLit – Roman Fantasi
Penerbit : PT.Gramedia Pustaka Utama
Diterbitkan : September 2008
Setelah membaca berbagai judul roman remaja mulai dari terbitan GPU, GagasMedia, Grasindo, Pustaka Hijau, Terrant Books, dll—saya melihat ada perkembangan dimana novel roman remaja tak lagi hanya berkutat soal cinta melulu. Biarpun unsur roman masih jadi sajian utama, namun di beberapa novel mulai bergeser kearah lain, yaitu fantasi dan science fiction. Kebetulan banget sudah sejak lama saya juga berkeinginan membuat jenis cerita dengan thema yang sama.
Ada beberapa judul teenlit yang beraroma demikian, misalnya Lost in Teleporter (Tria Barmawi), D’Angel ( Luna Turasingu), The Legend of Madriva (Sitta Karina), Indigo Girl (terbitan Terrant Books, penulisnya lupa), Uttuki ( Clra Ng), dan yang akan saya bahas di sini adalah Mirror, Mirror On the Wall karya Poppy D.Chusfani.
Membaca karya ibu muda beranak satu yang mengaku sebagai Tolkien freak ini, seolah saya sedang menikmati film bikinan Hollywood. Plot-nya adalah: tokoh utamanya cewek yang gak gitu cantik, gak pinter, gak gaul, dan pastinya nggak pede. Muncullah pertolongan dari makhluk gaib (biasanya peri atau jin). Dia mulai berubah. Bisa memperoleh ketenaran, pinter, gaul, bisa merebut cowok impian; tapi akhirnya hancur berantakan karena makhluk gaib itu merongrongnya.
Begitulah memang sifat setan, manis di muka ternyata mematikan di akhirannya. Karin yang mempunyai kakak perempuan yang sempurna dan ayah kaya yang sibuk, selalu merasa underdog, gak pernah dianggep oleh siapapun juga. Tak sengaja dia nemu sebuah cermin antik di gudang rumahnya. Cermin itu berisi semacam jin peninggalan nenek moyangnya yang masih keturunan raja Banten.
Ketiga jin yang berujud nenek buyutnya itu membuat Karin jadi top. Dia bisa jadi penyanyi solo di paduan suara sekolah, bisa mendapatkan cowok idaman para cewek sekolahnya bernama Andree yang ganteng dan tajir abis, dipuji ayah dan kakak perempuannya yang selama ini nyuekin dia, dst dst...
Kemudian muncul dua ekor harimau jadi-jadian yang selama ini selalu mengawalnya secara diam-diam. Makhluk gaib yang muncul belakangan ini tak senang Karin sering masuk ke dalam cermin dan berada di dunia gaib, karena hal itu akan menyedot energinya dan memperlemah rohnya. Tapi Karin yang sudah merasa tergantung pada ketiga wanita penghuni cermin tak ambil perduli.
Bahkan nasehat sahabat karibnya sejak kecil bernama Shawn yang dipanggilnya sebagai bule dekil, juga tak digubrisnya. Salah satu jin wanita di dalam cermin yang bernama Nyi Rajadharma, seringkali diminta menyaru jadi dirinya untuk mewujudkan keinginan Karin. Belakangan ketahuan bahwa jin itu ternyata berniat busuk. Sayangnya sudah terlambat bagi Karin untuk menyesali keputusannya.
Dan begitulah akhirnya. Seperti tadi saya bilang, endingnya aja mirip banget dengan film bikinan Hollywood. Dua harimau jadi-jadian yang jauh dari kesan seram itu duduk di belakang mobil sambil melantunkan puisi, sementara Karin dan cowoknya (silakah tebak yang mana: Andree atau Shawn?) duduk di depan mobil dengan bahagia.
Sebagai hiburan, novel ini enak dibaca. Di sana-sini banyak joke-joke yang walau terasa sekali khas Hollywood, tapi bisa bikin kita tersenyum. Kedua harimau betina jadi-jadian yang bernama Cangra (yang serius dan suka menasehati) dan Wulung (yang cuek dan kocak) membuat suasana jadi hidup. Sayangnya penggambaran tokoh Nyi Rajadharma dan kedua saudaranya kurang digarap, jadinya tokoh antagonis ini kurang terasa menggigit.
Btw, layaklah cerita ini dijadikan hiburan di kala senggang, disaat kita lagi malas membaca novel serius macam karya Umberto Uco, John Grisham, Agatha Cristie dll.
No comments:
Post a Comment