Wednesday, November 19, 2008

HUJAN (Thee&Rien)

“Tes...Tes...” Gerimis mulai turun. Musim penghujan yang baru datang memang sulit diprediksikan. Bisa saja datang siang, sore, malam, bahkan pagi hari yang cerah seperti ini. Langit tidak mendung. Tidak ada tanda-tanda akan turunnya hujan.

Banyak yang bilang, ini hujannya orang mati. Entah benar atau tidak. Tapi bukankah memang ada kematian setiap hari. Tapi kenapa hujan orang mati ini tidak datang saat musim kemarau. Padahal setiap hari dalam hitungan menit setidaknya satu nyawa melayang. Entah, banyak pertanyaan yang tidak ada jawabannya dalam kehidupan ini.

Seperti pertanyaan yang mendominasi headline koran INTRIK pagi itu. Tidak ada yang tahu jawabannya. Belum tahu. Entah kapan. Namun tidak ada pertanyaan apakah koran itu memang akan basah bermandikan air hujan yang semakin deras jatuh ke bumi.

Karena sudah terjadi. Sudah pasti sekarang ini koran itu kuyup, lapuk. Tinta dan kertasnya seolah menyatu dalam warna. Koran itu basah, sudah ada robekan di sana-sini. Terhujam garangnya air hujan yang menancap ke permukaan bumi pagi ini. Tepatnya bumi Indonesia, negeri di mana banyak yang percaya tentang adanya hujan orang mati.

*

Gadis itu menatap koran berhalaman kekuningan di depannya, isinya masih sederhana, deretan katanya juga hanya itu-itu saja. Tidak direpotkan oleh isu-isu ekonomi yang kini kian merebak.
Kemudian pandangannya berpindah menuju koran di genggaman tangan kanannya, tulisannya rapat-rapat. Banjir bandang, gempa bumi yang melanda tanah Sumatera tertera besar di depan halamannya. Sisanya isu-isu ekonomi yang tidak kian reda.

Hhff… klise, ujarnya dalam hati.

Tanggal di koran menyebutkan 21 September 2007, dulu mungkin pembunuhan menjadi suatu kisah yang spektakuler, menghiasi besar-besar headline koran dengan kertas kekuningan tahun 1986 tersebut. Sekarang? Berita kriminal akan diletakkan di tengah halaman, belakang, atau pojok koran. Kecuali jika presiden Indonesia ini terbunuh.
Enggan dia membolak-balik halaman koran, mencari sesuatu yang sudah menjadi tujuannya sejak pagi dia membeli koran itu.

Nah… itu dia,
terletak di pojok halaman 20.





HUJAN
Sebuah Fiksi. Novel Thriller Fiction dengan kontroversi sosial politik, pertama di Indonesia. Sarat dengan konflik dan permasalahan tak terduga. Juga hal-hal yang marak terjadi di masyarakat. Mengetengahkan problema kontroversial, seperti hubungan homoseksual atau sikap anti-sosial dan non aktual yang kian menjamur saat ini.
HUJAN
on JAPAN Version
SEGERA!
*
Alika hanya duduk di bar sambil memejamkan matanya, menegak bir di gelasnya yang sebelumnya sudah dia basuh dengan alkohol. Satu alasannya sampai dia datang ke tempat yang hina ini. Dia mencari Berlian.
Berlian Kirani, 22 tahun.
Muda.
Cantik.
Simpanan seorang pria tua bodoh.
Dan yang pasti… dia butuh uang.

Berlian, dia begitu mencintai Eben. Seorang pria berusia 52 tahun, sudah beristri dan beranak tiga. Eben hanya seorang pegawai rendahan di sebuah percetakan yang tidak ternama. Wajahnya memang menarik, dan dia punya sejuta kata romantis untuk dibuang-buang. Karena itu Berlian terjerat dalam pesonanya.

Tidak hanya kehormatannya yang sudah habis direguk oleh Eben, tapi juga uang. Tidak hanya sekali Eben meminta Berlian untuk memberikan uang pada dirinya. Tidak hanya satu atau dua ratus ribu, jutaan bahkan sudah pernah dimintanya. Dan Berlian begitu patuh mengikuti seluruh perintah Eben.

Gadis bodoh… pikir Alika.

Saat ini matanya terbuka dan sedang melihat Berlian tengah bercumbu dengan seorang pria yang lebih pantas menjadi ayahnya daripada menjadi kekasihnya. Pria itu bertubuh sintal dan berpakaian menarik layaknya seseorang yang terpelajar, rambutnya berwarna abu-abu, berkumis tipis dan memiliki senyum yang menggetarkan.

Berlian….

Gadis malang itu begitu mabuk dalam gelombang cinta semu yang diberikan oleh Eben.
Alika mendengus, muak. Sejak tadi dia tidak menemukan sesuatu yang menarik di dalam bar kecil di daerah Raden Saleh ini. Sama sekali tidak ada yang menarik. Sesak, gelap dan bising. Memperhatikan Berlian juga tidak membuatnya senang, malah membuatnya semakin kesal.

“Yo! Selina…. Nyanyikan satu lagu untuk kami!” Suara-suara itu begitu riuh memenuhi ruangan ketika seseorang naik ke atas panggung, menggantikan dua orang penari striptease yang kelelahan.

“Bon.” Jawab Alika pendek kepada pelayan bar.

Secarik kertas lusuh dengan tulisan cakar ayam disodorkan padanya, jumlahnya duapuluh ribu. Duapuluh ribu hanya untuk segelas bir yang tidak enak ini? Mereka pasti meminta bayaran dengan melihat penampilan, keluh Alika dalam hati. Tak urung dia keluarkan juga dua puluh ribu dari dalam dompetnya.

Alika sudah merasa jenuh dan bosan, dia sudah cukup melihat. Dan sudah tahu apa yang akan dia lakukan berikutnya. Karena itu dia melangkah keluar.

“There used to be a greying tower alone on the sea. You became the light on the dark side of me. Love remained a drug that's the high and not the pill….”

Langkah Alika terhenti ketika mendengar nyanyian itu, membuatnya tersentak. Dan untuk pertama kalinya dalam malam ini dia menoleh.

Untuk mencari.
Untuk melihat.
Hanya untuk tahu…
… suara indah dan lagu yang menawan itu siapa yang menyanyikan.
Sungguh kontras sekali lagu seindah ini dengan suara malaikat itu, di tempat seburuk ini. Sehina ini….

Alika berdiri di tempatnya, melihat sosok yang tengah bernyanyi di panggung bar kecil yang bobrok itu.

Jantungnya seolah berhenti berdetak, membuatnya bingung. Lagunyakah yang membuat dirinya tersentuh? Atau sosok yang sedang bernyanyi itu?

Seorang gadis berkulit putih, agak pucat, duduk di kursi tengah panggung. Dia menyanyikan lagu Kiss From A Rose dari SEAL dengan sepenuh hatinya. Matanya terpejam, dan dia tampak hanyut dalam lagu yang tengah dinyanyikannya.

Dari sekian banyak sampah dan pemandangan kotor yang dilihat Alika di dalam bar ini, hanya sosok itu satu-satunya yang bisa membuatnya terkesiap.

Gadis itu…
Begitu bersih…
Suci…
Indah, dengan kecantikan yang dia sendiri susah untuk mengutarakannya.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, hatinya tergetar. Jiwanya terguncang, gadis itu merenggut seluruh perhatiannya. Seorang gadis… yang dia sendiri bahkan tidak mengenali siapa namanya dan darimana datangnya.

Tapi gadis seindah itu… Tidak mungkin termasuk ke dalam anggota belasan pelacur-pelacur kotor yang ada di dalam bar.

Sosoknya terlihat begitu mempesona dalam sorot lampu panggung, membuat kulitnya bersinar terang. Menjadikannya sosok terindah. Sebuah harta yang tidak ternilai yang berhasil dia temukan dalam tumpukan sampah kotor dan tidak berguna ini.

“….my power, my pleasure, my pain, baby. To me you're like a growing addiction that I can't deny. Won't you tell me is that healthy, baby? But did you know. That when it snows, My eyes become large and the light that you shine can be seen. Baby, I compare you to a kiss from a rose on the grey. Ooh, the more I get of you…”

Satu bagian dari dirinya seolah terkoyak ketika mendengar lagu itu terus mengalun dari bibir gadis mungil yang sedang duduk di tengah panggung ini. Hampir meluruhkan seluruh pertahanannya, membuatnya bingung juga merasa aneh.

Namanya Selina… begitu tadi orang-orang memanggilnya.
*
Tanpa aba-aba. Rinto menerjangnya. Brutal. Penuh gairah yang menggelora. Memunafikkan semua kenyataan. Membayangkan cinta sejatinya yang berselimutkan sutra bermotif bunga merah itu, yang kini berada di depannya.
Hasrat Galih terpuaskan. Rinto benar-benar sempurna. Luar dan dalam. Tak ada lagi cela baginya. Cela yang pernah mampir dalam otaknya, ketika Rinto membutuhkan perlindungannya sembilan belas tahun yang lalu, hilang seketika. Tanpa sisa.
“Aku harus pulang.”
“Jangan” tahan Galih.
“Aku harus….”
Tubuh Rinto perlahan bangkit. Namun tangan pria yang gemulai itu menahannya. Galih tak ingin sedikitpun menerima bahwa moment berharga ini harus pergi begitu cepat.
Tarik menarik itu berlangsung sekitar satu menit. Namun diakhiri dengan tekanan tangan kekar yang bergelung di pinggang Galih.
Awalnya, Galih berpikir apa yang dilakukan Rinto merupakan persetujuan non verbal atas permintaannya.
Tapi, mau tak mau dia harus membuang semua harapan melankolisnya itu. Karena sesaat setelah tindakan non verbal itu terjadi, Rinto melanjutkannya dengan tindakan non verbal yang lain.
Dia menahan kalimat pujian yang hendak terlontar dari mulut Galih dengan tangannya. Galih tidak merasakan ada sekat antara kulit telapak orang yang dicintainya itu dengan selaput tipis bibirnya. Dia tidak merasakan adanya saputangan bersimbol PKI itu hadir di indera pengecapnya. Tidak juga merasakan aroma chlorofoam sudah menembus tajam indera penciumannya.
Saat ini yang dia rasakan hanya pikirannya yang mengawang. Pusing yang menyenangkan. Sakit yang membahagiakan.
Saat ini yang dia rasakan, adalah cinta non verbal milik Rinto dan kehangatan tubuhnya.
*
Jam menunjukkan pukul 14.44 WIB, Eben masih tertidur. Berlian memutuskan untuk menyalakan radio sekarang, daripada terlambat dan melakukan kesalahan. Mungkin orang itu akan mengambil kembali uang lima puluh juta yang telah didapatkannya.

Tapi, kalau orang itu lebih memilih untuk mengambil nyawa Berlian?
Jadi lebih baik kunyalakan sekarang, pikir Berlian.
Zzzttt…zzz….zzzztttt….
Suara kaset dari tape tersebut seperti rekaman dari sebuah radio. Kurang jelas, dan terdengar suara seorang penyiar sebelum lagu di dalam tape itu dimainkan. Berlian merasa heran. Pikirannya berkata, apa maksud orang ini? Namun hatinya menimpali dengan kalimat yang lain,
Ah bodo amat! Yang penting duit udah di tangan. Dan Berlian memilih mengikuti kata hatinya. Dia tidak mau ambil pusing, sama halnya dengan sikapnya dalam menggampangkan hubungan cintanya dengan Eben.
“Kamu denge-“
“Zzz…. Lagu yang dinyanyikan oleh Tetty Kadi...zzztttt….kiriman dari Handoko di Jakarta untuk Eben yang zzzz…zzzt….Bandung…”
“Hatiku hancur mengenang dikau. Berkeping-keping jadinya. Kini air mata jatuh bercucuran. Tiada lagi harapan.......”
Eben sudah tidak dapat lagi duduk bersandar, wajahnya pucat. Seperti pucat langit yang tertutup awan hujan saat ini.
“Apa? Kenapa sayang? Kamu nggak suka lagunya?” tanya Berlian.
Eben tidak menjawab, lagu Layu Sebelum Berkembang yang dinyanyikan oleh Tetty Kadi itu terus mengalun. Eben tidak tahu persis itu lagu apa. Baginya lagu itu hanya lagu kuno yang memuakkan. Namun entah kenapa di saat alunan melodi menghentak telinganya, dia merasakan nyeri tak jelas yang tiba-tiba merayap di ulu hatinya.
Bagaikan intuisi negatif yang tiba-tiba hadir.
Pertanda buruk.
Wajah orang itu.
Tapi itu tidak mungkin terjadi! Tidak mungkin! Pria itu sudah mati belasan tahun yang lalu!
“Kumatiin aja ya.” Berlian mengambil inisiatif untuk mematikan radio karena melihat Eben begitu pucat dan tampak ketakutan.
… toh sudah kunyalakan seperti yang diminta orang gila itu, pikir Berlian.
Klik!
Radio dimatikan, suara indah mendayu-dayu milik Tetty Kadi yang menyanyikan lagu Layu Sebelum Berkembang ciptaan A Riyanto itu langsung menghilang ditelan suara derasnya hujan.
Berlian kembali memandang ke depan, namun terlambat. Tiba-tiba saja mobil di depannya yang sedang melaju kencang, berbelok ke kiri dengan cepat. Tanpa sanggup menginjak rem, Berlian menghantam minibus yang berjalan sangat pelan di depannya.
“Gubraakkkk!!”
Hantaman tanpa ampun itu langsung membuat mobil Kijang pinjaman itu terpelanting. Eben tidak mengenakan sabuk pengaman, sehingga dia terlempar ke depan mobil dan menghantam dashboard.
Hujan turun semakin deras, tol Cipularang tertutup oleh derasnya hujan. Tapi tidak membuat orang menjadi urung untuk memperlambat laju kendaraan mereka masing-masing.
Baru saja mobil yang dikemudikan Berlian terlempar ke kiri, ban belakang mobilnya pecah dan menimbulkan suara decit yang tidak menyenangkan telinga. Membuat mobilnya tersungkur ke tengah jalan tol Cipularang.
… dalam keadaan terbalik.
Berlian melihat Eben masih dapat bernafas dan berusaha untuk melepaskan diri dari himpitan dashboard yang menimpa kakinya. Sebuah mobil Alphard berwarna hitam melaju kencang dari jalur tengah dan…
Brakkkk…
….untuk yang kedua kali, Kijang abu-abu metalik itu terbalik dan terseret sejauh tiga meter ke depan. Berlian hanya bisa menjerit, ketika akhirnya semuanya terhenti.
Dengan susah payah, tanpa sanggup menghentikan isak tangisnya, Berlian merangkak keluar dari dalam mobilnya yang hancur. Menangis dan berusaha mengapai Eben.
Pria itu…
Eben Lumaris.
Sudah tidak lagi bergerak.
Tidak lagi bisa tersenyum.
Tidak lagi bisa mengeluarkan rayuan-rayuan gombalnya.
Eben Lumaris. Diam dalam hujan, terhimpit oleh dashboard mobil, tubuhnya tertekuk dengan kepala menghantam kaca jendela depan. Darah mengalir deras dari kepalanya. Darah itu perlahan mengalir keluar, terbawa oleh arus air hujan yang deras.

No comments: