Saturday, November 1, 2008

Sebuah Opini, Sebuah Pemikiran, Sebuah Perspektif RIEN


Sedikit dilemma saat ingin menuliskan halaman ini. Tapi karena sejak awal kita menyatakan bahwa ini blog tempat discuss para penulis, maka saya akan menuliskan apa yang sempat mendatangi pikiran saya dari hasil discuss saya dengan Thee, mba Rina, atau pak Han. Mengenai statement dari Anda berempat yang paling nyangkut dalam pikiran saya. Banyak permohonan maaf sebelumnya, apabila kalimat saya ada yang menyinggung. Ini hanya sekedar komentar balasan secara lengkap atas statement yang pernah Thee,mba Rina, dan pak Han diskusikan dengan saya. Sebuah kejujuran dari komentar saya, dan pemikiran serta jalan hidup seorang RIEN.

Yang pertama, saya akan coba memberikan opini dari statement Thee yang pernah mengemukakan bahwa ‘jika di depan saya ada pilihan bisnis ataupun nulis, saya akan pilih bisnis’
Menurut saya, Thee adalah sosok yang mirip dengan seorang novelis bernama Harper Lee. Novelis yang hanya menulis satu novel sepanjang hidupnya, dan novel itu menjadi novel terlaris sepanjang masa, novel yang dianugeragi ‘Guiness Book of World Record’ karena berjuta orang yang membelinya. Judulya TO KILL A MOCKING BIRD








Saya tidak tahu pasti mengapa Harper Lee hanya ingin menulis satu novel saja, tapi jelas ia menginginkan kesempurnaan dalam setiap karyanya. Dan saya melihat, Thee juga memiliki personal yang seperti itu. Dia tidak ingin setengah-setengah dalam menulis, ingin total namun tidak terburu-buru. Tapi memang, tidak seratus persen ingin bergelut di dalamnya. Hal itu menyangkut statementnya beberapa waktu lalu kepada saya : ‘jika di depan saya ada pilihan bisnis ataupun nulis, saya akan pilih bisnis’

Mungkin saja akan terjadi hal yang sama ke saya, kalau memang saya dihadapkan pilihan seperti itu. Tapi saya rasa, bisnis dengan menulis bukan dua hal yang patut diperbandingkan. Bukan dua hal yang pantas disanding untuk dipilih. Bisnis dengan menulis adalah dua hal yang kontras, tapi substitute untuk seseorang. Bisnis adalah sebuah pekerjaan yang menuntut lebih banyak rasio, perhitungan, tenaga, dan permainan uang. Sementara, menurut saya, menulis, adalah pekerjaan yang menuntut tidak hanya rasio dan perhitungan, tetapi justru lebih banyak hati dan imajinasi, tidak membutuhkan banyak tenaga, dan buat saya menulis bukanlah sebuah permainan uang, tapi kepuasan batin. Karena, secara jujur, saya menulis bukan untuk uang, tapi untuk sarana refreshing pikiran saya, disaat kemelut kehidupan begitu dalam mengguncang saya, disaat lisan tak lagi mampu untuk mewakili hati yang ingin berteriak, saya akan menulis dan berimajinasi… hidup dalam dunia khayalan saya, dunia yang saya ciptakan sendiri. Kemelut yang saya ciptakan. Dunia yang tanpa beban buat saya. Dunia fiksi dalam pikiran saya. Bisnis, lebih banyak menggunakan otak kiri, sementara menulis lebih banyak menggunakan otak kanan. Jadi kesimpulannya kalau ada pilihan di depan saya ‘pilih bisnis atau menulis’ saya akan jawab : saya pilih dua-duanya. Karena manusia itu sesungguhnya tidak mau berhenti berpikir, bahkan saat tidur pun kita punya alam bawah sadar pikiran kita sendiri yang bekerja. Jadi ketika otak kiri ingin beristirahat, otak kanan saya akan menggantikannya bekerja secara otomatis, dan itu semua demi kepuasan batin saya. Jadi jika saya tidak lagi bekerja formal atau bisa dikatakan semisalnya berbisnis, saya akan beristirahat dengan menulis. Selain dari istirahat fisik. Meulis adalah istirahat secara batiniah, sama halnya ketika kita beristirahat bersama Tuhan, dalam doa-doa ataupun sembahyang yang biasa kita lakukan.
Nah, itu opini saya mengenai statement Thee. Setuju ataupun tidak, itu semua kembali kepada diri kita masing-masing, karena semua opini ini adalah kehidupan saya, jalan pikiran saya secara subjektif, dan berbicara mengenai perbedaan pemikiran manusia yang pastinya mempunyai jalannya masing-masing. That’s mention : the colour of life.

Kemudian, yang kedua, saya ingin… umm, lebih tepatnya memberi masukan kepada pak Han mengenai ‘keindahan cerita horror yang sesungguhnya’, tentunya dari sudut pandang saya. Sebenarnya, saya bukanlah pembaca yang menyenangi novel-novel yang berbicara tentang setan, atau hantu. Karena bagi saya semuanya hampir seragam, mulai dari bentuk makhluk gaib itu sendiri, hingga ketakutan-ketakutan yang dialami oleh manusia yang melihatnya. Tapi bagi saya ada satu film trilogi berjudul : Kuntilanak 1,2, dan 3 yang boleh dijadikan perbandingan. Awalnya saya melabelkan film ini tak beda dengan film atau cerita hantu lainnya. Namun ‘tembang’ yang dihadirkan di film, tembang dari seorang wanita yang berbakat memanggil kuntilanak, membuat saya penasaran dan mencoba menikmati film ini. Dan dari ketiganya saya suka, saya paling menyenangi episode Kuntilanak yang terakhir. Film ini menyajikan banyak statement filosofi hidup yang relevan dengan jalan cerita. Tidak melulu dikaitkan dengan cinta kekasih tapi juga menghadirkan cinta anak dengan ibunya, cinta dalam persahabatan, bahkan cintanya kepada diri sendiri.




“Kematian bukanlah sebuah akhir, tapi kematian adalah awal dari sebuah kesimpulan”
Atau “Jika manusia tidak siap untuk mati, maka manusia itu tidak siap untuk hidup” atau ada statement panjang di akhir, pesan seorang Samantha kepada adik kecilnya Yeni. Karena terlalu panjang, saya jadi lupa. Tapi, statement itu bagus sekali. Kurang lebih pesan-pesan filosofi yang dihadirkan dalam trilogi film ini seperti itu. Saya tidak tertarik dengan setan-setannya, tapi jalan cerita yang tidak biasa, kreatif, jujur, dan tentunya filosofis, sarat pesan moral. Dan alangkah indahnya sebuah cerita horror dengan penyajian yang bisa lebih baik lagi dari trilogi film Kuntilanak. Saya tidak tahu bagaimana bentuknya, karena saya bukan spesialis di bidang itu. Tapi bisa difikirkan. Kalau alur yang kreatif mungkin pak Han bisa berdiskusi dengan Thee, karena dia menulis sebuah sinopsis horror yang menurut saya brilliant. Judulnya : ANTIQUE. Dan bagi saya itu sebuah cerita horror yang belum ada, dan tidak biasa. Lebih baik lagi jika ada unsur filosofi dan moral di sana. Dimana menyatakan : SETAN ITU LEBIH RENDAH DERAJATNYA DARI MANUSIA.

Dan yang terakhir. Saya setuju dengan pendapat mba Rina yang menyatakan sebuah cerita jangan straight forward hanya kepada permasalahan. Baru-baru ini saya menonton film horror berjudul THE FOG. Film mengenai bangkitnya penghuni kapal besar bernama ‘Elizabeth Dane’ yang dipimpin oleh kapten Dane yang hidup pada tahun 1871. Kapten Dane beserta pengikutnya bangkit untuk membunuh semua keturunan empat orang pahlawan kota Oregon yang memiliki nama belakang Wayne, Malone, dua lagi saya lupa. Tapi ternyata ambisi terbesar sang kapten adalah menemukan sosok reinkarnasi kekasihnya yang bernama Elizabeth. Dan dia menemukannya di wanita yang bernama Elizabeth Wayne. Dalam diri wanita keturunan Wayne yang seharusnya dibunuhnya. Namun di ending ia hanya mencium wanita itu dan membawa rohnya dan meninggalkan keinginannya untuk membunuh keturunan Wayne, Malone yang lainnya. That’s for first, mba.. Yang kedua, saya setuju dengan statement mba Rina mengenai

...perbedaan perspektif dengan saya. Dari segi kesukaan jenis novel, baik itu untuk dikonsumsi atau ditulis sendiri oleh kita. Dan memang benar, bahwa perbedaan kita itu tidak bisa dilebur, namun mungkin bisa disatukan seperti halnya saya menyatukan tulisan saya dengan Thee. Hemmm, get it, mba… Secara khususnya, saya lega bahwa kita saling menyadari unsur perbedaan itu dalam diri kita dan kita bisa saling menghargai satu sama lain.

Well, saya rasa hanya itu pemikiran yang sempat menggantungi benak saya dari statement yang teman-teman pernah diskusikan ke saya. Tidak ada maksud menyinggung ataupun emosi berbalut sensitivitas dalam kalimat-kalimat perspektif saya ini. Hanya ingin berdiskusi secara tulisan, mengingat ‘hanya di ruang inilah kita berempat dapat bertemu setiap saat’


CHEERS and REGARDS,


1 comment:

Dunia Fiksi said...

Wah, saya senang sekali blog ini berkembang menjadi sarana diskusi.
Menurut rating, blog kita ada di nomor 27. Berarti cukup bagus lho!
Mengenai pendapat Rini, saya setuju sekali. Sambil berbisnis tetap menulis, atau menulis untuk tujuan bisnis juga oke kok. Buktinya banyak yang berhasil mem-bisniskan tulisannya.
Tapi buat yang idealis, boleh aja serius nulis aja tanpa motif bisnis. Kalau saya sih pengin dua-duanya. Menulis, tapi juga menghasilkan uang, supaya lebih semangat gitu lho!
Oke. Sekian dulu. Ditunggu komentar teman-teman lainnya.

Salam damai,

Hans