Monday, September 15, 2008

Laskar Pelangi

Notes : Sebelumnya mohon maaf, karena halaman ini sangat panjang, tapi resensi ini sangat menarik dan sangat inspirasional. Nggak akan wasting time deh baca ini, jamin…

Mumpung sekarang lagi demam novel Laskar Pelangi dan sebentar lagi filmnya tayang di bioskop, nggak ada salahnya kan untuk mencoba memberi komentar secara panjang lebar mengenai novel ini?

Oke, menelusuri tulisan yang sudah gue cantumkan di ‘coretan-alfabet’, kesemuanya adalah resensi mengenai novel luar negeri. Jadi ini saatnya untuk gue mencoba menilai novel-novel dalam negeri, novel dalam negeri berkualitas yang tentunya mendapat penilaian bagus di masyarakat.





Laskar Pelangi adalah salah satu novel inspirational yang sedang BOOMing banget di kalangan masyarakat saat ini. Walaupun kalau menurut gue, diantara tetralogi kisah nyata yang ditulis oleh Andrea Hirata : Laskar Pelangi-Sang Pemimpi-Edensor-Maryamah Karpov. Gue lebih suka Edensor, kalau Maryamah Karpov belum bisa gue nilai karena belum diterbitkan. Tapi gue ingin memperkenalkan tetralogi yang pertama dulu, karena kebetulan gue dapet e-booknya dan bisa gue copy sebagian ke sini. Terlebih gue berharap mudah-mudahan bisa bermanfaat untuk mba rina… ya mba… aku coba bantu dengan resensi ini… seperti yang aku bilang kemaren, novel ini bisa jadi inspirasi untuk lebih mengentalkan segi adventure ‘Postcard from Neverland’.

Sekarang gue akan mencoba menjabarkan secara detail dan gamblang beberapa paragraf yang cukup menyentuh karena penggambaran sebuah emosi perasaan dicampurkan dengan setting tempat yang begitu nyata.




Ini kesepuluh anggota Laskar Pelangi :





Ketika Andrea menggambarkan sekolah SD-nya di daerah Belitong yang begitu memprihatinkan :



Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip gedung kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci?



Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian seperti umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan tak ada gambar presiden dan wakilnya, atau gambar seekor burung aneh berekor delapan helai yang selalu menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan di sana adalah sebuah poster, persis di lubang besar di dinding papan. Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah mengalami cobaan hidup yang maha dahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang pria melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang tak kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT.



Maka pada intinya tak ada yang baru dalam pembicaraan tentang sekolah yang atapnya bocor, berdinding papan, berlantai tanah, atau yang kalau malam dipakai untuk menyimpan ternak, semua itu telah dialami oleh sekolah kami.

Ketika Andrea secara detail menggambarkan dirinya (yang dalam novel ini masih duduk di bangku SD), ketika ia begitu jatuh cinta kepada seorang gadis kecil tionghoa, anak penjual toko material yang bernama A Ling :



Acara pembelian kapur adalah rutin dan sama. Setelah menunggu sekian lama sampai hampir pingsan di dalam toko bau itu, A Miauw akan berteriak nyaring memerintahkan seseorang mengambil sekotak kapur. Lalu dari ruang belakang akan terdengar jawaban dari seseorang¾ yang selalu kuduga seorang gadis kecil¾ yang juga berbicara nyaring, lantang, dan cepat seperti kicauan burung murai batu.



Kotak kapur dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil persegi empat seperti kandang burung merpati. Yang terlihat hanya sebuah tangan halus, sebelah kanan, yang sangat putih bersih, menjulurkan kotak kapur melalui lubang itu. Wajah pemilik tangan ini adalah misterius, sang burung murai batu tadi tersembunyi di balik dinding papan yang membatasi ruangan tengah toko dengan gudang barang dagangan di belakang. Sang misteri ini tidak pernah bicara sepatah kata pun padaku. Ia menjulurkan kotak kapur dengan tergesa-gesa dan menarik tangannya cepat-cepat seperti orang mengumpankan daging ke kandang macan. Demikianlah berlangsung bertahun-tahun, prosedurnya tetap, itu-itu saja, tak berubah.



Jika tangannya menjulur tak kulihat ada cincin di jari jemarinya yang lentik, halus, panjang-panjang, dan ramping, namun siuk-a, gelang giok indah berwarna hijau tampak berkarakter dan melingkar garang pada pergelangan tangannya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Dalam hatiku, jika aku berani macam-macam pastilah jemarinya secepat patukan bangau menusuk kedua bola mataku dengan gerakan kuntau yang tak terlihat. Mungkin pula gelang giok yang selalu membuatku segan itu diwarisinya dari kakeknya, seorang suhu sakti, yang mendapatkan gelang itu dari pertarungan dahsyat untuk merebut hati neneknya. Ah! Kiranya aku terlalu banyak nontn film shaolin.



Namun, tahukah Anda? Di balik kesan garang itu, di ujung-ujung jari jemari lentik si misterius ini tertanam paras-paras kuku nan indah luar biasa, terawat baik, dan sangat memesona, jauh lebih memesona dibanding gelang giok tadi. Tak pernah kulihat kuku orang Melayu seindah itu, apalagi kuku orang Sawang. Ia tak pernah memakai kuteks. Aliran urat-urat halus berwarna merah tersembunyi samar-samar di dalam kukunya yang saking halus dan putihnya sampai tampak transparan. Ujung-ujung kuku itu dipotong dengan presisi yang mengagumkan dalam bentuk seperti bulan sabit sehingga membentuk harmoni pada kelima jarinya.



Permukaan kulit di seputar kukunya sangat rapi, menandakan perawatan intensif dengan merendamnya lama-lama di dalam bejana yang berisi air hangat dan pucuk-pucuk daun kenanga. Ketika memanjang, kuku-kuku itu bergerak maju ke depan dengan bentuk menunduk dan menguncup, semakin indah seperti batu-batu kecubung dari Martapura, atau lebih tepatnya seperti batu kinyang air muda kebiru-biruan yang tersembunyi di kedalaman dasar Sungai Mirang. Amat berbeda dengan kuku Sahara yang jika memanjang ia akan melebar dan makin lama semakin menganga, persis seperti mata pacul.



Dan yang tercantik dari yang paling cantik adalah kuku jari manisnya. Ia memperlihatkan seni perawatan kuku tingkat tinggi melalui potongan pendek natural dengan tepian kuku berwarna kulit yang klasik. Tak berlebihan jika kukatakan bahwa paras kuku jari manis nona misterius ini laksana batu merah delima yang terindah di antara tumpukan harta karun raja brana yang tak ternilai harganya.



Aku sudah terlalu sering mendapatkan tugas membeli kapur yang menjengkelkan ini, sudah puluhan kali. Satu-satunya penghiburan dari tugas horor ini adalah kesempatan menyaksikan sekilas kuku-kuku itu lalu menertawakan bagaimana kontrasnya kuku-kuku zamrud khatulistiwa tersebut dibanding potongan-potongan kecil terasi busuk di seantero toko bobrok ini. karena terlalu sering aku jadi hafal jadwal si nona misterius memotong kukunya: setiap hari Jumat, lima minggu sekali.

Dan kutipan beberapa paragraf terakhir (mungkin agak panjang) tentang kisah seorang sahabat Andrea bernama Lintang (salah satu anggota Laskar Pelangi) yang begitu pintar, namun harus putus sekolah karena… (baca sendiri dulu deh)



Sejak hari perkenalan dulu aku sudah terkagum-kagum pada Lintang. Anak pengumpul kerang ini pintar sekali. Matanya menyala-nyala memancarkan intelegensi, keingintahuan menguasai dirinya sperti orang kesurupan. Jarinya tak pernah berhenti mengacung tanda ia bisa menjawab. Kalau melipat dia paling cepat, kalu membaca dia paling hebat. Ketika kami masih gagap menjumlahkan nagka-angka genap ia sudah terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongak, dia sudah pintar membagi angka desimal, menghitung akar dan menemukan pangkat, lalu, tidak hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungan keduanya dalam tabel logaritma. Kelemahannya, aku tak yakin apakah hal ini bisa disebut kelemahan, adalah tulisannya yang cakar ayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak mampu mengejar pikirannya yang berlari sederas kijang.



"13 kali 6 kali 7 tambah 83 kurang 39!" tantang Bu Mus di depan kelas.
Lalu kami tergopoh-gopoh membuka karet yang mengikat segenggam lidi, untuk mengambil tiga bels lidi, mengelompokkannya menjadi enam tumpukan, susah payah menjumlahkan semua tumpukan itu, hasilnya kembali disusun menjadi tujuh kelompok, dihitung satu persatu sebagai total dua tahap perkalian, ditambah lagi 83 lidi lalu diambil 39. Otak terlalu penuh untuk mengorganisasi sinyal-sinyal agar mengambil tindakan praktis mengurangkan dulu 39 dari 83. Menyimpang sedikit dari urutan cara berpikir orang kebanyakan adalah kesalahan fatal yang akan mengacaukan ilmu hitung aljabar. Rata-rata dari kami menghabiskan waktu hampir selama 7 menit. Efektif memang, tapi tidak efisien, repot sekali.



Sementara Lintang, tidak memegang sebatang lidi pun, tidak berpikir dengan cara orang kebanyakan, hanya memejamkan matanya sebentar, tak lebih dari 5 detik ia bersorak.
"590!"
Tak sebiji pun meleset, meruntuhkan semangat kami yang sedang belepotan memegangi potongan lidi, bahkan belum selesai dengan operasi perkalian tahap pertama. Aku jengkel tapi kagum. Waktu itu kami batu masuk hari pertama di kelas dua SD!
"Superb! Anakk pesisir,superb!" puji Bu Mus. Beliau pun tergoda untuk menjangkau menjangkau batas daya pikir Lintang.
"18 kali 14 kali 23 tambah 11 tambah 14 kali 16 kali 7!"
Kami berkecil hati, termangu-mangu menggenggami lidi, lalu kurang dari tujuh detik, tanpa membuat catatan apa pun, tanpa keraguan, tanpa ketergesa-gesaan, bahkan tanpa berkedip, Lintang berkumandang.
"651.952!"
"Purnama! Lintang, bulan purnama di atas Dermaga Olivir, indah sekali! Itulah jawabannmu, ke mana kau bersembunyi selama ini...?"
*
SEKARANG hari Kamis, sudah empat hari Lintang tak muncul juga. Aku melamun memandangi tempat duduk di sebelahku yang kosong. Aku sedih melihat dahan filicium tempat ia bertengger jika kami memandangi pelangi. Ia tak ada di sana. Kami sangat kehilangan dan cemas. Aku rindu pada Lintang.



Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya. Suasana kelas menjadi sepi. Kami rindu jawaban-jawaban hebatnya, kami rindu kata-kata cerdasnya, kami rindu melihatnya berdebat dengan guru. Kami juga rindu rambut acak-acakannya, sandal jeleknya, dan tas karungnya.



Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan menitipkan pesan pada orang yang mungkin melalui kampung pesisir tempat tinggal Lintang. Aku cemas membayangkan kemungkinan buruk. Tapi biarlah kami tunggu sampai akhir minggu ini.



Senin pagi, kami semua berharap menjumpai Lintang dengan senyum cerianya dan kejutan-kejutan barunya. Tapi ia tak muncul juga. Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang pria kurus tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan surat kepada Bu Mus. Begitu banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama hampir sembilan tahun di SD dan SMP Muhammadiyah tapi baru pertama kali ini aku melihatnya menangis. Air matanya berjatuhan di atas surat itu.



Ibunda guru,Ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah.Salamku, Lintang.



SEORANG anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. Ia sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi.



Di bawah filicium kami akan mengucapkan perpisahan. Aku hanya diam. Hatiku kosong. Perpisahan belum dimulai tapi Trapani sudah mulai menangis terisak-isak. Sahara dan Harun duduk bergandengan tangan sambil tersedu-sedu. Samson, Mahar, Kucai, dan Syahdan berulang kali mengambil wudu, sebenarnya dengan tujuan menghapus air mata. A Kiong melamun sendirian tak mau diganggu. Flo, yang baru saja mengenal Lintang dan tak mudah terharu tampak sangat muram. Ia menunduk diam, matanya berkaca-kaca. Baru kali ini aku melihatnya sedih.



Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah seorang pejuang Laskar Pelangi lapisan tertinggi. Dialah ningrat di antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling istimewa dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin ini. Kuingat semua jejak kecerdasannya sejak pertama kali ia memegang pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan tahun yang lalu. Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah pikirannya. Dialah Newton-ku, Adam Smith-ku, Andre Ampere-ku.



Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut samudra. Begitu banyak energi positif, keceriaan, dan daya hidup terpancar dari dirinya. Di dekatnya kami tertimbas cahaya yang masuk ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan pikiran, memicu keingintahuan, dan membuka jalan menuju pemahaman. Darinya kami belajar tentang kerendahan hati, tekad, dan persahabatan. Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni pada lomba kecerdasan dulu, ia telah menyihir kepercayaan diri kami sampai hari ini, membuat kami berani bermimpi melawan nasib, berani memiliki cita-cita.



Lintang seumpama bintang dalam rasi Cassiopeia yang meledak dini hari ketika menyentuh atmosfer. Ketika orang-orang masih lelap tertidur. Cahaya ledakannya menerangi angkasa raya, memberi terang bagi kecemerlangan pikiran tanpa seorang pun tahu, tanpa ada yang peduli. Bagai meteor pijar ia berkelana sendirian ke planet-planet pengetahuan, lalu kelipnya meredup dalam hitungan mundur dan hari ini ia padam, tepat empat bulan sebelum ia menyelesaikan SMP. Aku merasa amat pedih karena seorang anak supergenius, penduduk asli sebuah pulau terkaya di Indonesia hari ini harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya. Hari ini, seekor tikus kecil mati di lumbung padi yang berlimpah ruah.

Dan dua belas tahun kemudian, ketika Andrea telah berhasil memperjuangkan kehidupannya di Jakarta untuk mendapatkan beasiswa ke Sorbonne, ketika ia pergi dari Belitong selama belasan tahun, meninggalkan semua rekan Laskar Pelangi yang terpaksa pasrah dengan takdir akibat keterbatasan biaya, dan ketika ia kembali lagi ke sana, kembali bertemu Lintang dewasa dengan nasibnya yang begitu memilukan :



Pria yang kemarin menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah satu dari puluhan sopir truk yang tinggal di bedeng ini, duduk di atas dipan, dekat tungku, berhadap-hadapan denganku. Ia kotor, miskin, hidup membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang.



Aku tak berkata apa-apa. Terlihat jelas ia kelelahan melwan nasib. Lengannya kaku seperti besi karena kerja rodi. Tapi tubuhnya kurus dan ringkih. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang jenaka itu tak pernah hilang walaupun sekarang kulitnya kering berkilat dimakan minyak. Rambutnya semakin merah awut-awutan. Lintang dan keseluruhan bangunan ini menimbulkan rasa iba, iba karena kecerdasan yang sia-sia terbuang.



Aku masih diam. Dadaku sesak. Bedeng ini berdiri di ats tanah semacam semenanjung, daratan yang menjorok ke laut. Aku mendengar suara … Bum …! Bum …! Bum …! Aku melihat ke luar jendela sebelah kananku. Sebuah tugboat penarik tongkang meluncur pelan di samping bedeng. Suara motor tempel yang nendang menggetarkan tiang-tiang bedeng dan asap hitam mengepul tebal. Gelombang halus yang ditimbulkan tugboat tersebut memecah tepian yang berkilat seperti permukaan kaca berwarna-warni karena digenangi minyak.



Kupandangi terus tugboat yang melaju dan sekejap aku merasa tugboat itu tak bergerak tapi justru aku dan bedeng itu yang meluncur. Lintang yang dari tadi mengamatiku membaca pikiranku.



"Einstein’s simultaneous relativity …," katanya memulai pembicaraan. Ia tersenyum getir. Kerinduannya pada bangku sekolah tentu membuatnya perih.



Aku juga tersenyum. Aku mengerti ia tidak mengalami apa yang secara imajiner baru saja yang aku alami. Dua orang melihat objek yang sama dari dua sudut pandang yang berbeda maka pasti mereka memiliki persepsi yang berbeda. Oleh karena itu, Lintang menyebutnya simultan. Sebuah konteks yang relevan dengan perspektifku melihat hidup kami berdua sekarang.



Tak lama kemudian aku mendengar lagi suara Bum! Bum! Bum! Kali ini sebuah tugboat yang lain meluncur pelan dari arah yang berlawanan dengan arah tugboat yang pertama tadi. Buritan tugboat yang pertama belum habis melewatiku maka aku menoleh ke kiri dan ke kanan membandingkan kedua tugboat yang melewatiku secara berlawanan arah.



Lintang mengobservasi perilakuku. Aku tahu ia kembali membaca isi kepalaku, keahliannya yang selalu membuatku tercengang.
"Pradoks …," kataku.
"Relatif …," kata Lintang tersenyum.
Aku menyebut paradoks karena ukuran yang kuperkirakan sebagai subjek yang diam akan berbeda dengan ukuran orang lain yang ada di tugboat meskipun untuk tugboat yang sama.
"Bukan, bukan paradoks, tapi relatif," sanggah Lintang.
"Ukuran objek bergerak dilihat oleh subjek yang diam dan bergerak membuktikan hipotesis bahwa waktu dan jarak tidaklah mutlak tapi sebaliknya—relatif.
Einstein membantah Newton dengan pendapat itu dan itulah alasan aksioma pertama teori relativitas yang melambungkan Einstein.



Ugghh, Lintang! Sejak kecil aku tak pernah punya kesempatan sedikit pun untuk berhenti mengagumi tokoh di depanku ini. Mantan kawanku sebangku yang sekarang menjadi penghuni sebuah bedeng kuli ternyata masih sharp! Walaupun bola mata jenakanya telah menjadi kusam seperti kelereng diamplas namun intuisi kecerdasannya tetap tajam seperti alap-alap mengintai anak ayam. Aku beruntung sempat bertemu dengan beberapa orang yang sangat genius tapi aku tahu Lintang memiliki bakat genius yang jauh melebihi mereka.



Aku termenung lalu menatapnya dalam-dalam. Aku merasa amat sedih. Pikiranku melayang membayangkan dia memakai celana panjang putih dan rompi pas badan dari bahan rajutan poliester, melapisi kemeja lengan panjang berwarna biru laut, naik mimbar, membawakan sebuah makalah di sebuah forum ilmiah yang terhormat. Makalah itu tentang terobosannya di bidang biologi maritim, fisika nuklir, atau energi alternatif.



Mungkin ia lebih berhak hilir mudik keluar negeri, mendapat beasiswa bergengsi, dibanding begitu banyak mereka yang mengaku dirinya intelektual tapi tak lebih dari ilmuwan tanggung tanpa kontribusi apa pun selain tugas akhir dan nilai-nilai ujian untuk dirinya sendiri. Aku ingin membaca namanya di bawah sebuah artikel dalam jurnal ilmiah. Aku ingin mengatakan pada setiap orang bahwa Lintang, satu-satunya ahli genetika di Indonesia, orang yang telah menguasai operasi pohon Pascal sejak kelas satu SMP, orang yang memahami filosofi diferensial dan integral sejak usia demikian muda, adalah murid perguruan Muhammadiyah, teman sebangkuku.



Namun, hari ini Lintang ternyata hanya seorang laki-laki kurus yang duduk bersimpuh menunggu giliran kerja rodi. Aku teringat lima belas tahun yang lalu ia memejamkan matanya tak lebih dari tujuh detik untuk menjawab soal matematika yang rumit atau untuk meneriakkan Joan d’Arch! Merajai lomba kecerdasan, melejitkan kepercayaan diri kami. Kini ia terpojok di bedeng ini, tampak tak yakin akan masa depannya sendiri. Aku sering berangan-angan ia mendapat kesempatan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan. Tapi angan-angan itu menguap, karena di sini, di dalam bedeng tak berpintu inilah Isaac Newton-ku berakhir.



" Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak jadi nelayan …."



Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.

Andrea Hirata mengaku menulis novel spektakuler ini hanya dalam waktu tiga minggu, luar biasa banget buat gue, karena penulis itu bisa menghasilkan begitu banyak halaman yang panjang dan berisi dalam waktu sangat singkat. Walaupun buat gue novel ini agak bertele-tele dan semakin lama agak membosankan, membosankan dalam tautan kata-kata yang begitu indah dan briliant.
Sepertinya penulis ini juga merasa demikian, sehingga dia lebih to the point di novel-novelnya yang selanjutnya. Bagi gue justru terlihat lebih sempurna dengan langsungnya dia ke dalam inti permasalahan. Tapi sekali lagi gue ingin menyarankan, tetralogi ini bermanfaat banget dan sangat inspiratif, worth-it untuk dibaca, lebih bagus kalau punya. Atau kalau males baca novelnya, nonton filmnya! Yakin deh, bakalan banyak inspirasi yang dateng setelah mencoba mendalami kisah nyata dari Andrea Hirata ini.



Sangat bermanfaat, sangat worth-it, sangat inspiratif terutama untuk para penulis seperti kita.



Satu titik dalam relativitas waktu


Saat inilah masa depan itu

6 comments:

rina said...

Nice review Rin =) Thanks ya, buat masukannya. Iya lho, baca sekilas koment kamu itu, gaya bahasanya agak nyastra. Btw, kalau kamu punya ebooknya, aku mau ya Rin, dikirimin ;-) Thanks a lot

Asrini Mahdia said...

mba rina... e-booknya aku dapet dari salah satu lembaga sosial tempat aku jadi volunteer gitu. Jadi forbidden kalo untuk orang luar, karena penerbitnya cuma ngasih untuk keperluan sosial. Hehehe... maaf ya mba...

rina said...

Oh, nggak apa-apa kok Rin. Oke kalau gitu, nti aku coba pinjam deh. Di cafe bukunya Om Han mungkin ada. Sekali lagi, thanks ya...

Dunia Fiksi said...

Novel ini memang bagus banget.
Saya sudah baca sampai yang ke tiga
berjudul Endensor.
Sayangnya novel ke empat berjudul Maryamah Karpov belum muncul sampai
sekarang, padahal sudah lama ada judul dan covernya.
Perkiraan saya si Andre Hirata belum juga menemukan A Ling, jadi dia belum bisa menerbitkan Maryamah Karpov.
Kuatirnya begitu dia kecantol Maryamah yang anaknya pemain catur, si A ling muncul dan ngamuk-ngamuk karena nggak mau dimadu.

Hans

Dunia Fiksi said...

Novel ini memang bagus banget.
Saya sudah baca sampai yang ke tiga
berjudul Endensor.
Sayangnya novel ke empat berjudul Maryamah Karpov belum muncul sampai
sekarang, padahal sudah lama ada judul dan covernya.
Perkiraan saya si Andre Hirata belum juga menemukan A Ling, jadi dia belum bisa menerbitkan Maryamah Karpov.
Kuatirnya begitu dia kecantol Maryamah yang anaknya pemain catur, si A ling muncul dan ngamuk-ngamuk karena nggak mau dimadu.

Hans

Dunia Fiksi said...

Tul banget pak Han. Novelnya Andrea emang oke.. ^_^ Seneng akhirnya ada yang nge-fans juga. hehe

-RIEN